Meskipun saya orang Jawa, tapi harus saya akui, saya tidak bisa berbahasa Jawa. Makanya saya malas kalau harus melamar seorang gadis Jawa sementara keluarga gadis mengharuskan saya berbahasa Ibu, haha.. #ngaco ah..
Bukan berarti saya benci bahasa daerah kok. Saya pendukung adanya kelestarian budaya termasuk kelestarian bahasa pribumi. Karena menurut National Geographic (entah edisi kapan), secara berkala ada bahasa yang hilang di muka Bumi ini. Sebenarnya sih wajar saja. Toh, di akhirat kita hanya memakai satu bahasa, yaitu bahasa Akhirat atau bahasa Arab.
Nah, ada sebuah hadits yang berbunyi:
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila engkau bertiga maka janganlah dua orang berbisik tanpa menghiraukan yang lain, hingga engkau bergaul dengan manusia, karena yang demikian itu membuatnya susah.” Muttafaq ‘Alaihi dan lafaznya menurut Muslim.
Biasanya ini nih yang sering kita tidak hiraukan. Matan atau isi haditsnya memang kurang lebih berbunyi “jangan berbisik dua orang di antara tiga orang”, tapi bisa kita analogikan. Mengapa dilarang berbisik dua orang di antara tiga orang? Karena satu orang yang tidak ikut berbisik akan merasa curiga, merasa tidak diacuhkan, bahkan bisa jadi beliau merasa tidak dianggap di kelompok itu. Nah loh, dosa besar kan jadinya karena kita melukai hati orang lain.
Coba apa bedanya dengan kisah (misalnya) tiga orang yang sedang berkumpul dengan komposisi dua orang berasal dari daerah yang sama dan bisa berbahasa daerah sedangkan satunya lagi dari daerah yang berbeda atau orang yang tidak mengerti bahasa daerah? Jika dua orang yang punya bahasa daerah ini berbicara dengan bahasa daerah mereka, maka teman yang satunya akan tidak mengerti kan? Akhirnya satu orang yang terasingkan ini bisa merasa curiga, merasa tidak diacuhkan, bahkan merasa tidak dianggap.
Penegasan (dengan contoh):
Orang Sunda (yang tidak bisa bahasa Jawa) tidak akan senang berada di antara orang Jawa yang sedang berbahasa Jawa karena dia tidak paham1. Begitu pun sebaliknya.
Sama dengan seseorang yang melihat dua orang atau lebih berbisik-bisik sementara dia yang berada di dekat mereka tidak diajak berbisik. Tentu dia tidak akan senang karena tidak paham apa yang mereka bicarakan.
Kesimpulan:
Jadi, jangan berbahasa daerah jika di dekat kita ada teman yang tidak mengerti bahasa daerah yang kita ucapkan!
Wallahu a’lam bish shawwab. Saya memang bukan ahli hadits, tapi berdasarkan pengalaman saya, hadits di atas bisa dianalogikan untuk hal yang sudah saya terangkan pula di atas.
Jika ada yang ingin menyampaikan pendapatnya, silahkan isi kolom komentar di bawah. Tapi mohon dengan bahasa yang sopan ya.. 😀
Terima kasih.
Catatan Kaki:
1│penggunaan suku Sunda dan Jawa sebagai contoh tidak ada maksud apa-apa. Hanya sekedar dijadikan contoh.
Lebih baik to the point aja ke pokok bahasan, 2 paragraf di awal cerita membuat jadi g pas gitu..
SukaSuka
Haha, namanya juga blog mbak.. Basa-basi diperbolehkan..
Setuju kalau untuk laporan penelitian atau laporan ilmiah lainnya memang antar satu paragraf dengan paragraf lainnya harus nyambung dan tidak boleh banyak basa-basi, hehe..
SukaSuka
BTW, makasih mbak sudah komen di blog saya.. 😀
SukaSuka
wah… kalo aku paling ga tahan kalo ga ngomong pake bahasa daerah kalo ketemu sama orang yang satu daerah haha 😀
SukaSuka
Haha, sebenarnya itu bagus kok.. Artinya kamu bangga dengan bahasa daerahmu.. 😀
Yah, tapi lihat sikon aja.. Jangan sampai teman kita, kita anggurkan secara tidak langsung dengan “full” berbahasa daerah yang tidak dia ngerti, hehe..
Oh iya, Ente asal mana sebenarnya?
SukaSuka
asal madura
SukaSuka